HIDUP ADALAH PROSES BELAJAR YANG TAK PERNAH USAI

HIDUP ADALAH PROSES BELAJAR YANG TAK PERNAH USAI

Setelah bertahun-tahun menjalani aktivitas dalam pelayanan jemaat, keputusan untuk kembali ke dunia perkuliahan bukanlah hal yang ringan. Terlebih rutinitas hidup yang sudah terbentuk dan tanggung jawab pelayanan di GKI Perumahan Citra 1 yang terus berjalan. Akan tetapi, ada kerinduan dalam hati untuk terus belajar, bertumbuh, dan memperkaya pemahaman iman melalui studi ini.

Langkah untuk melanjutkan studi magister di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta menjadi awal dari lembaran baru. Ruang kelas kini dipenuhi wajah-wajah dari berbagai generasi. Ada yang sebaya, ada pula yang jauh lebih muda. Bahkan, perbedaan usia sempat memunculkan momen yang menggelitik, misalnya ketika seorang rekan seangkatan secara spontan menyebutkan panggilan “tante” kepada yang lebih tua. Namun, keberagaman ini justru menghadirkan dinamika yang menyegarkan. Diskusi kelas menjadi ruang yang hidup dan penuh perspektif dari berbagai konteks usia dan pelayanan. Dalam keberagaman itu, ditemukan kehangatan dan kebersamaan komunitas yang menjadi berkat tersendiri.

Di sisi lain, perjalanan kembali ke dunia studi bukan tanpa tantangan. Banyak perjuangan yang harus dihadapi. Membaca buku-buku teologi yang kompleks membutuhkan konsentrasi ekstra. Menyusun paper, menyiapkan presentasi, dan memenuhi tenggat waktu untuk tugas yang diberikan menjadi tantangan tersendiri, terutama ketika harus dilakukan di tengah pelayanan pada akhir pekan. Rasa lelah kadang menyergap. Pertanyaan tentang kemampuan untuk bertahan pun sempat muncul.

Di tengah segala pergumulan itu, penyertaan Tuhan terasa begitu nyata. Dalam kelelahan, justru ditemukan kekuatan baru. Dalam kebingungan, lahir pemahaman baru. Belajar bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan akademik, tetapi juga merupakan proses membuka diri untuk terus dibentuk oleh Tuhan. Setiap bacaan, diskusi, dan tugas menjadi cara Allah memperluas wawasan, mengasah kepekaan, dan memperdalam pengenalan akan iman.

Pengalaman ini meneguhkan bahwa hidup adalah proses belajar yang tak pernah usai. Hal ini sejalan dengan apa yang dituliskan dalam Amsal 1: 5, “baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu, dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan.” Kitab Amsal dibuka dengan sebuah pengantar yang menggarisbawahi kebutuhan penting dalam hidup ini, yaitu hikmat. Tujuan utama kitab ini adalah membentuk cara hidup yang benar. Penulis menekankan pentingnya didikan dan pengertian, khususnya bagi kaum muda yang sedang belajar memahami arah hidupnya (lih. Amsal 1: 4). Namun, ayat ke-5 menunjukkan bahwa pesan ini juga ditujukan kepada orang yang dipandang bijak. Hal ini berarti orang bijak tidak berhenti belajar. Sebaliknya, ia justru terus membuka diri untuk mendengar, menimbang, dan bertumbuh.

Dalam Alkitab, “mendengar” bukan hanya soal telinga, melainkan hati yang terbuka menerima nasihat, bahkan teguran. Sikap ini mencerminkan kerendahan hati yang sejati, yaitu kesadaran bahwa dalam perjalanan hidup manusia, ia akan selalu mengalami pembentukan oleh Tuhan. Hikmat bukanlah sesuatu yang dicapai lalu selesai, melainkan sebuah proses yang terus ditempuh bersama Tuhan.

Frasa “menambah ilmu” di sini bukan berarti sekadar menumpuk pengetahuan. Dalam bahasa Ibrani, istilah ini menyiratkan pengajaran yang membentuk cara pandang dan membekali seseorang untuk mengambil keputusan bijak dalam hidup sehari-hari. Sementara itu, “bahan pertimbangan” berbicara tentang kebijaksanaan praktis yang lahir dari pengalaman, sudut pandang orang di sekitar, dan kepekaan terhadap kehendak Tuhan.

Pada zaman ketika orang mudah merasa cukup dengan sedikit informasi dan cepat memberi opini, Amsal 1: 5 mengingatkan pentingnya ketekunan untuk mendengar. Menjadi bijak berarti bersedia terus belajar dari firman Tuhan, relasi dengan sesama, dan juga dari setiap peristiwa hidup yang dilalui. Hidup yang dipenuhi hikmat bukan hanya lebih bermakna, tetapi juga selaras dengan kehendak Allah. Ayat ini menjadi pengingat bahwa kebijaksanaan bukan hasil instan, melainkan buah dari proses panjang yang melibatkan kemauan untuk terus belajar dan terbuka terhadap pembaruan.

Kembali menempuh studi bukan semata soal mengejar gelar, melainkan merupakan proses memperbarui diri, membuka ruang untuk memperdalam pemahaman iman, memperkaya pelayanan, dan memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan jemaat. Selama hidup masih berlanjut dan hati tetap terbuka, undangan Tuhan untuk belajar dan bertumbuh tidak akan pernah berhenti. Belajar adalah salah satu cara untuk merespons panggilan-Nya dengan setia dan penuh syukur.

Pengalaman kembali belajar mengingatkan bahwa iman bukan sesuatu yang statis. Ia hidup, tumbuh, dan terus perlu dipelihara. Maka, setiap kesempatan untuk memperdalam pemahaman, setiap momen untuk memperluas wawasan, dan setiap ruang untuk berefleksi bersama adalah anugerah yang layak disyukuri. Pada akhirnya, proses ini bukan sekadar tentang akademik. Ini adalah tentang kesetiaan. Kesetiaan untuk terus menanggapi panggilan Allah dengan serius. Kesetiaan untuk memberi diri dibentuk demi menjadi hamba yang lebih peka, lebih bijak, dan lebih siap melayani dengan hati yang diperbarui.

 

Pdt. Gloria Tesalonika

Berita Terkait
Komentar
Tinggalkan Komentar